LARUNG SESAJI TELAGA SARANGAN
Budaya pada hakekatnya adalah cerminan nilai‐nilai dari sekumpulan manusia yang ada di dalamnya.
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman budaya, karenanya
pelestarian budaya yang ada menjadi keharusan. Agar nilai‐nilai yang terkandung di dalamnya dapat berperan
membimbing perilaku masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Dalam
sistem budaya masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk yang terdiri
beraneka ragam suku bangsa, ritus/upacara, merupakan salah satu unsur budaya
yang mempunyai eksistensi fungsional. Upacara yang kita amati sebagai wujud
tradisi masa kini sebenarnya berakar pada sejarah yang terjadi di masa lampau.
Tradisi Larung
Tumpeng merupakan salah satu tradisi budaya di Indonesia. Tradisi ini
dilangsungkan di Telaga Sarangan Kecamatan Plaosan Kabupaten Magetan, Jawa
Timur. Tradisi tahunan ini diadakan pada setiap Bulan Ruwah (Jawa), hari Jum’at Pon dengan prosesi utama Larung Tumpeng (Labuh Sesaji) ke Telaga Sarangan.
Tujuan tradisi ini sebagai ucapan terima kasih masyarakat kepada Tuhan Yang
Maha Esa karena hadiah‐Nya yang berupa Telaga Sarangan,
sehingga mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat Magetan khususnya dan
Indonesia pada umumnya.
1.
MITOS TERBENTUKNYA TELAGA SARANGAN
Kyai Pasir dan Nyai Pasir adalah pasangan suami isteri yang hidup di hutan gunung Lawu. Mereka berteduh di sebuah rumah (pondok) di hutan lereng gunung Lawu sebelah timur. Pondok itu dibuat dari kayu hutan dan beratapkan dedaunan. Dengan pondok yang sangat sederhana ini keduanya sudah merasa sangat aman dan tidak takut akan bahaya yang menimpanya, seperti gangguan binatang buas dan sebagainya. Lebih-lebih mereka telah lama hidup di hutan tersebut sehingga paham terhadap situasi lingkungan sekitar dan pasti dapat mengatasi segala gangguan yang mungkin akan menimpa dirinya.
Pada suatu hari pergilah Kyai Pasir ke hutan dengan maksud bertanam sesuatu di ladangnya, sebagai mata pencaharian untuk hidup sehari-hari. Oleh karena ladang yang akan ditanami banyak pohon-phon besar, Kyai Pasir terlebih dahulu menebang beberapa pohon besar itu satu demi satu.
Tiba-tiba Kyai Pasir terkejut karena mengetahui sebutir telur ayam terletak di bawah salah sebuah pohon yang hendak ditebangnya. Diamat-amatinya telur itu sejenak sambil bertanya di dalam hatinya, telur apa gerangan yang ditemukan itu. Padahal di sekitarnya tidak tampak binatang unggas seekorpun yang biasa bertelur. Tidak berpikir panjang lagi, Kyai Pasir segera pulang membwa telur itu dan diberikan kepada isterinya.
Kyai Pasir dan Nyai Pasir adalah pasangan suami isteri yang hidup di hutan gunung Lawu. Mereka berteduh di sebuah rumah (pondok) di hutan lereng gunung Lawu sebelah timur. Pondok itu dibuat dari kayu hutan dan beratapkan dedaunan. Dengan pondok yang sangat sederhana ini keduanya sudah merasa sangat aman dan tidak takut akan bahaya yang menimpanya, seperti gangguan binatang buas dan sebagainya. Lebih-lebih mereka telah lama hidup di hutan tersebut sehingga paham terhadap situasi lingkungan sekitar dan pasti dapat mengatasi segala gangguan yang mungkin akan menimpa dirinya.
Pada suatu hari pergilah Kyai Pasir ke hutan dengan maksud bertanam sesuatu di ladangnya, sebagai mata pencaharian untuk hidup sehari-hari. Oleh karena ladang yang akan ditanami banyak pohon-phon besar, Kyai Pasir terlebih dahulu menebang beberapa pohon besar itu satu demi satu.
Tiba-tiba Kyai Pasir terkejut karena mengetahui sebutir telur ayam terletak di bawah salah sebuah pohon yang hendak ditebangnya. Diamat-amatinya telur itu sejenak sambil bertanya di dalam hatinya, telur apa gerangan yang ditemukan itu. Padahal di sekitarnya tidak tampak binatang unggas seekorpun yang biasa bertelur. Tidak berpikir panjang lagi, Kyai Pasir segera pulang membwa telur itu dan diberikan kepada isterinya.
Kyai
Pasir menceritakan ke Nyai Pasir awal pertamanya menemukan telur itu, sampai
dia bawa pulang.
Akhirnya kedua suami isteri itu sepakat telur temuan itu direbus. Setelah masak, separo telur masak tadi oleh Nyai Pasir diberikan ke suaminya. Dimakannya telur itu oleh Kyai Pasir dengan lahapnya. Kemudian Kemudian Kyai Pasir berangkat lagi keladang untuk meneruskan pekerjaan menebang pohon dan bertanam.
Dalam perjalanan kembali ke ladang, Kyai Pasir masih merasakan nikmat telur yang baru saja dimakannya. Namun setelah tiba di ladang, badannya terasa panas, kaku serta sakit sekali. Mata berkunang-kunang, keringat dingin keluar membasahi seluruh tubuhnya. Derita ini datangnya secara tiba-tiba, sehingga Kyai Pasir tidak mampu menahan sakit itu dan akhirnya rebah ke tanah. Mereka sangat kebingungan sebab sekujur badannya kaku dan sakit bukan kepalang. Dalam keadaan yang sangat kritis ini Kyai Pasir berguling-guling di tanah, berguling kesana kemari dengan dahsyatnya. Gaib menimpa Kyai Pasir. Tiba-tiba badanya berubah wujud menjadi ular naga yang besar, bersungut, berjampang sangat menakutkan. Ular Naga itu berguling kesana kemari tanpa henti-hentinya.
Alkisah, Nyai Pasir yang tinggal di rumah dan juga makan separo dari telur yang direbus tadi, dengan tiba-tiba mengalami nasib sama sebagaimana yang dialami Kyai Pasir. Sekujur badannya menjadi sakit, kaku dan panas bukan main. Nyai Pasir menjadi kebingungan, lari kesana kemari, tidak karuan apa yang dilakukan.
Akhirnya kedua suami isteri itu sepakat telur temuan itu direbus. Setelah masak, separo telur masak tadi oleh Nyai Pasir diberikan ke suaminya. Dimakannya telur itu oleh Kyai Pasir dengan lahapnya. Kemudian Kemudian Kyai Pasir berangkat lagi keladang untuk meneruskan pekerjaan menebang pohon dan bertanam.
Dalam perjalanan kembali ke ladang, Kyai Pasir masih merasakan nikmat telur yang baru saja dimakannya. Namun setelah tiba di ladang, badannya terasa panas, kaku serta sakit sekali. Mata berkunang-kunang, keringat dingin keluar membasahi seluruh tubuhnya. Derita ini datangnya secara tiba-tiba, sehingga Kyai Pasir tidak mampu menahan sakit itu dan akhirnya rebah ke tanah. Mereka sangat kebingungan sebab sekujur badannya kaku dan sakit bukan kepalang. Dalam keadaan yang sangat kritis ini Kyai Pasir berguling-guling di tanah, berguling kesana kemari dengan dahsyatnya. Gaib menimpa Kyai Pasir. Tiba-tiba badanya berubah wujud menjadi ular naga yang besar, bersungut, berjampang sangat menakutkan. Ular Naga itu berguling kesana kemari tanpa henti-hentinya.
Alkisah, Nyai Pasir yang tinggal di rumah dan juga makan separo dari telur yang direbus tadi, dengan tiba-tiba mengalami nasib sama sebagaimana yang dialami Kyai Pasir. Sekujur badannya menjadi sakit, kaku dan panas bukan main. Nyai Pasir menjadi kebingungan, lari kesana kemari, tidak karuan apa yang dilakukan.
2.
PELAKSANAAN RITUAL LABUH SESAJI
1.
Deskripsi
Pelaksanaan Labuh Sesaji di Telaga Sarangan
a.
Sesaji
yang dipersembahkan
1.
Cok Bakal
Cok bakal terdiri dari :
Cok bakal terdiri dari :
a)
Sirih yang
dilipat/digulung kemudian diikat dengan benang
b)
Jenang merah
c)
Jenang putih
d)
Uang gobog
e)
Cabai merah 1 buah
f)
Telur ayam mentah 1
butir
g)
Takir dari daun pisang.
2.
Kemenyan madu gondo
arum
Kemenyan madu gondo arum yaitu kemenyan yang harum baunya.
Kemenyan madu gondo arum yaitu kemenyan yang harum baunya.
3.
Sekar telon gondo wangi
Sekar telon gondo wangi terdiri dari tiga macam bunga yaitu:
(a) bunga melati
Sekar telon gondo wangi terdiri dari tiga macam bunga yaitu:
(a) bunga melati
(b) bunga kanthil
(c) bunga kenanga
4.
Panggang ayam tulak
rojo muko/panggang tumpeng Panggang tumpeng terdiri dan:
(a) panggang ayam 1 buah
(b) nasi tumpeng dengan lauk-pauk dan sayur-mayur
5.
Pisang ayu apupus
cindhe
Pisang ayu apupus cindhe terdiri dari 2 macam pisang yaitu:
(a) pisang rojo
(b) pisang ambon hijau
Pisang ayu apupus cindhe terdiri dari 2 macam pisang yaitu:
(a) pisang rojo
(b) pisang ambon hijau
6.
Jenang sapto warno
Sesuai dengan namanya jenang ini terdiri dari 7 macam jenis warna yaitu :
(a) jenang merah
Sesuai dengan namanya jenang ini terdiri dari 7 macam jenis warna yaitu :
(a) jenang merah
(b) jenang putih
(c) jenang kuning
(d) jenang hitam
(e) jenang merah yang bagian
tengahnya diberi sedikit jenang warna kuning
(f) jenang putih yang bagian
tengahnya dan beri sedikit jenang warna hitam
(g) jenang putih yang bagian
tengahnya diberi sedikit jenang warna merah.
7.
Arang-arang kambang
Arang-arang kambang berupa dawet ketan yang dilengkapi dengan juruh.
Arang-arang kambang berupa dawet ketan yang dilengkapi dengan juruh.
8.
Asahan bekti pertiwi
Asahan bekti pertiwi terdiri dari senampan nasi dengan bermacam-macam lauk pauk.
Asahan bekti pertiwi terdiri dari senampan nasi dengan bermacam-macam lauk pauk.
9.
Golong hangesti tunggal
Golong hangesti tunggal berupa nasi golong yang dibuat bulat-bulat, yang jumlahnya sembilan.
Golong hangesti tunggal berupa nasi golong yang dibuat bulat-bulat, yang jumlahnya sembilan.
10. Pudak
ripih widodari
Pudak ripih widodari terdiri dari 17 macam makanan yaitu;
(a) panggang ayam
Pudak ripih widodari terdiri dari 17 macam makanan yaitu;
(a) panggang ayam
(b) lampu dari minyak tanah (lampu ublek) 2 buah
(c) pisang godog
(d) pisang yang sudah masak
(e) kelapa tua 2 buah yang sudah dikupas kulitnya
(f) mayang 2 buah ditaruh diatas piring
(g) jajanan
(h) mie goring
(i) kupat-lepet 2 piring
(j) kendi (tempat air dari tanah liat yang kecil) 2
buah
(k)botok tawon
(1) botok tempe
(m) botok asren
(n) nasi 2 piring
(o) wawa 2 bongkeh yang ditaruh di atas layah
(p) ngantenan (orang-orangan yang dibuat dari jenang
merah)
(q) gorengan
11. Rojo tetukulan
Rojo tetukulan ini semua hasil pertanian yang ada di Desa Sarangan. Semua sesaji tersebut di atas dijadikan satu, dinamakan Sesaji Agung.
Rojo tetukulan ini semua hasil pertanian yang ada di Desa Sarangan. Semua sesaji tersebut di atas dijadikan satu, dinamakan Sesaji Agung.
b.
Pakaian
/ Busana
Dalam acara Labuh Sesaji di Telaga Sarangan, untuk pakaian tidak ada ketentuan khusus pakaian yang harus dikenakan pada setiap rangkaian kegiatan sejak mulai persiapan, maupun pelaksanaan. Artinya, bahwa tidak ada keharusan untuk memakai pakaian tertentu dalam pelaksanaan ritus tersebut. Walaupun demikian, dari tradisi pelaksanaan ritus yang sudah berjalan dari tahun ke tahun nampaknya memunculkan kebiasaan mengenai jenis pakaian yang sering digunakan dalam pelaksanaan Ritus Labuh Sesaji di Telaga Sarangan. Berikut ini diuraikan jenis pakaian yang biasa dikenakan dalam penyelenggaraan kegiatan tesebut.
Dalam acara Labuh Sesaji di Telaga Sarangan, untuk pakaian tidak ada ketentuan khusus pakaian yang harus dikenakan pada setiap rangkaian kegiatan sejak mulai persiapan, maupun pelaksanaan. Artinya, bahwa tidak ada keharusan untuk memakai pakaian tertentu dalam pelaksanaan ritus tersebut. Walaupun demikian, dari tradisi pelaksanaan ritus yang sudah berjalan dari tahun ke tahun nampaknya memunculkan kebiasaan mengenai jenis pakaian yang sering digunakan dalam pelaksanaan Ritus Labuh Sesaji di Telaga Sarangan. Berikut ini diuraikan jenis pakaian yang biasa dikenakan dalam penyelenggaraan kegiatan tesebut.
1.
Sesepuh Desa
Untuk sesepuh desa memakai pakaian Jawa lengkap dengan blangkon, memakai keris. Pakaian atas berwarna gelap atau hitam sedangkan pakaian bawah mengenakan jarik.
Untuk sesepuh desa memakai pakaian Jawa lengkap dengan blangkon, memakai keris. Pakaian atas berwarna gelap atau hitam sedangkan pakaian bawah mengenakan jarik.
2.
Prajurit Berkuda
Untuk prajurit berkuda dengan jumlah empat orang mengenakan ala penganten Jawa laki-laki pakai kuluk.
Untuk prajurit berkuda dengan jumlah empat orang mengenakan ala penganten Jawa laki-laki pakai kuluk.
3.
Subo Manggolo (Cucuk
Laku)
Pakaian Subo Manggolo mengenakan pakaian Jawa lengkap dengan blangkon, memakai keris, dan berkalungkan bunga melati putih.
Pakaian Subo Manggolo mengenakan pakaian Jawa lengkap dengan blangkon, memakai keris, dan berkalungkan bunga melati putih.
4.
Pembawa Penarung
Pembawa penarung mengenakan pakaian Jawa lengkap.
Pembawa penarung mengenakan pakaian Jawa lengkap.
5.
Pengapit Sesepuh Desa
Pakaian pengapit sesepuh desa mengenakan pakaian Jawa lengkap dengan blangkon.
Pakaian pengapit sesepuh desa mengenakan pakaian Jawa lengkap dengan blangkon.
6.
Kepala Kelurahan
Bapak Lurah dan istri mengenakan pakaian ala pengantin Jawa.
Bapak Lurah dan istri mengenakan pakaian ala pengantin Jawa.
7.
Pengapit Kepala
Kelurahan
Pakaian pengapit kepala kelurahan mengenakan pakaian Jawa lengkap.
Pakaian pengapit kepala kelurahan mengenakan pakaian Jawa lengkap.
8.
Pembawa Sosong Agung
Untuk pembawa sosong agung dilakukan oleh seorang wanita yang cantik dengan pakaian basahan.
Untuk pembawa sosong agung dilakukan oleh seorang wanita yang cantik dengan pakaian basahan.
9.
Domas Putra dan Putri
Untuk putra dengan jumlah sepuluh orang dengan mengenakan pakaian Jawa lengkap.Sedangkan domas putrinya berjumlah empat belas dengan perincian sepuluh mengenakan pakaian kebaya ala Jawa.
Untuk putra dengan jumlah sepuluh orang dengan mengenakan pakaian Jawa lengkap.Sedangkan domas putrinya berjumlah empat belas dengan perincian sepuluh mengenakan pakaian kebaya ala Jawa.
10. Pembawa
Tumpeng Agung
Pembawa tumpeng agung memakai pakaian hitam-hitam, memakai udeng kepala.
Pembawa tumpeng agung memakai pakaian hitam-hitam, memakai udeng kepala.
11. Pembawa
Sesaji Hasil Pertanian
Para pembawa sesaji hasil pertanian mengenakan pakaian hitam-hitam dan memakai udeng kepala.
Para pembawa sesaji hasil pertanian mengenakan pakaian hitam-hitam dan memakai udeng kepala.
12. Unit
Kejawen
Sesuai dengan namanya unit kejawen ini mengenakan pakaian Jawa lengkap pakai blangkon, memakai keris.
Sesuai dengan namanya unit kejawen ini mengenakan pakaian Jawa lengkap pakai blangkon, memakai keris.
13. Unit
Kesenian
Untuk pakaian unit kesenian disesuaikan dengan kesenian yang didatangkan oleh panitia.
Untuk pakaian unit kesenian disesuaikan dengan kesenian yang didatangkan oleh panitia.
14. Unit
Perangkat/RT dan RW
Untuk para perangkat mengenakan pakaian Jawa lengkap.
Untuk para perangkat mengenakan pakaian Jawa lengkap.
c.
Penetapan
Waktu
Waktu pelaksanaan ritus labuh sesaji ditentukan menurut penanggalan Jawa yang jatuh pada hari Jumat Pon bulan Ruwah, tetapi penanggalan ini tidak bisa dipastikan karena kadang-kadang bulan Ruwah tidak ada hari Jumat Pon-nya. Kemudian panitia labuh sesaji mengambil kebijaksanaan dengan mempertimbangkan pendapat sesepuh desa yaitu dengan mengajukan pada bulan Rejeb.
Waktu pelaksanaan ritus labuh sesaji ditentukan menurut penanggalan Jawa yang jatuh pada hari Jumat Pon bulan Ruwah, tetapi penanggalan ini tidak bisa dipastikan karena kadang-kadang bulan Ruwah tidak ada hari Jumat Pon-nya. Kemudian panitia labuh sesaji mengambil kebijaksanaan dengan mempertimbangkan pendapat sesepuh desa yaitu dengan mengajukan pada bulan Rejeb.
d.
Personalia
Personalia pelaksana Ritus Labuh Sesaji di Telaga Sarangan sangat tergantung pada perekrutan kepanitiaan, kendatipun demikian di dalamnya tetap mencerminkan berbagai unsur perwakilan. Unsur perwakilan yang dimaksud antara lain:
Personalia pelaksana Ritus Labuh Sesaji di Telaga Sarangan sangat tergantung pada perekrutan kepanitiaan, kendatipun demikian di dalamnya tetap mencerminkan berbagai unsur perwakilan. Unsur perwakilan yang dimaksud antara lain:
a) unsur masyarakat (sesepuh desa)
b) unsur aparat desa dan kecamatan
c) unsur dari Pemda
e.
Syarat
khusus yang harus dipenuhi
Dalam Ritus Labuh Sesaji di Telaga Sarangan ini tidak ada pantangan atau sesuatu yang harus dijauhi. Menurut Sesepuh Desa, bahwa yang harus dipenuhi adalah tentang kelengkapan sesaji. Kalau sesaji yang telah ditetapkan sudah terpenuhi atau lengkap maka sudah cukup dan labuh sesaji bisa dilaksanakan.
Dalam Ritus Labuh Sesaji di Telaga Sarangan ini tidak ada pantangan atau sesuatu yang harus dijauhi. Menurut Sesepuh Desa, bahwa yang harus dipenuhi adalah tentang kelengkapan sesaji. Kalau sesaji yang telah ditetapkan sudah terpenuhi atau lengkap maka sudah cukup dan labuh sesaji bisa dilaksanakan.
f.
Prosesi
1.
Awal
prosesi
Pemberangkatan dimulai dari Balai Kelurahan Sarangan, kurang lebih 500 meter dari Telaga Sarangan. Dalam perjalanan dari Balai Kelurahan Sarangan, peserta yang membawa sesaji dilakukan dengan berjalan kaki kecuali, empat pasukan berkuda dengan naik kuda.
Pemberangkatan dimulai dari Balai Kelurahan Sarangan, kurang lebih 500 meter dari Telaga Sarangan. Dalam perjalanan dari Balai Kelurahan Sarangan, peserta yang membawa sesaji dilakukan dengan berjalan kaki kecuali, empat pasukan berkuda dengan naik kuda.
2.
Upacara
Upacara Labuh Sesaji dipusatkan di punden desa tepatnya sebelah timur telaga, di tempat inilah para pejabat Kabupaten, Muspika, para perangkat desa, sesepuh, dan tokoh masyarakat serta para warga masyarakat berkumpul untuk mengadakan sesaji. Setelah semua sesaji diterima oleh sesepuh desa, maka Mbah Parto membakar menyan serta membaca doa. Setelah pembacaan doa selesai sesaji dibawa ke telaga untuk dilarungkan kecuali, sesaji yang berisi nasi tumpeng yang berukuran kecil, panggang, cok bakal, dan setakir bunga telon ditinggal di bawah pohon beringin yang ada di punden desa.
Upacara Labuh Sesaji dipusatkan di punden desa tepatnya sebelah timur telaga, di tempat inilah para pejabat Kabupaten, Muspika, para perangkat desa, sesepuh, dan tokoh masyarakat serta para warga masyarakat berkumpul untuk mengadakan sesaji. Setelah semua sesaji diterima oleh sesepuh desa, maka Mbah Parto membakar menyan serta membaca doa. Setelah pembacaan doa selesai sesaji dibawa ke telaga untuk dilarungkan kecuali, sesaji yang berisi nasi tumpeng yang berukuran kecil, panggang, cok bakal, dan setakir bunga telon ditinggal di bawah pohon beringin yang ada di punden desa.
3.
Pelarungan
Sesaji Agung Labuh Tumpeng Gono Bahu
Pelarungan dilakukan setelah sesaji Agung Labuh Tumpeng Gono Bahu dikumpulkan menjadi satu di punden dan dibacakan doa oleh sesepuh Desa Sarangan.
Pelarungan dilakukan setelah sesaji Agung Labuh Tumpeng Gono Bahu dikumpulkan menjadi satu di punden dan dibacakan doa oleh sesepuh Desa Sarangan.
3.
FUNGSI MENURUT ANTROPOLOGI BUDAYA
a.
Fungsi Kekerabatan
Melalui
ritual larung sesaji atau yang bisa disebut labuh sesaji ini, masyarakat daerah
setempat akan mungkin bisa melihat dari sisi mitos dari terjadinya telaga
sarangan dimana Kyai Pasir menunjukkan kesetiaannya pada sang istri. Disini
kita juga dapat melihat betapa besarnya semangat dan kekompakan masyarakat
daerah setempat dalam mengikuti prosesi ritual Larung Sesaji. Dalam kegiatan
ini tak ada perbedaan status dan kasta antara si kaya dan si miskin. Semua
bekerja sama melakukan ritual larung sesaji yang dianggap sakral oleh
masyarakat daerah setempat tersebut.
b.
Fungsi Ekonomi
Dengan Ritual yang dilaksanakan secara rutin tiap
tahun tersebut, masyarakat Sarangan meningkat perekonomiannya baik yang
berdagang, usaha hotel ,restoran ,jasa perahu dan kuda serta usaha lainnya. Hal ini dikarenakan setiap pelaksanaan
ritual larung sesaji ini pasti akan mengundang minat turis lokal maupun manca
untuk turut serta meramaikan prosesi ritual tersebut.
c.
Fungsi Sosial Kemasyarakatan
Secara
horisontal labuh sesaji di Telaga Sarangan mempunyai makna sebagai suatu wadah
interaksi sosial yang dapat membina solidaritas sosial antara sesama masyarakat
Sarangan dan dengan pejabat pemerintah tanpa menonjolkan stratifikasi sosial
masing-masing.
Dalam
lingkup kehidupan sosial, manusia hidup sebagai mahluk sosial tidak bisa terlepas
dari keterhubungan dan keterkaitan atau ketergantungan dengan orang lain, mitos
berusaha membuat seolah-olah menghadirkan kembali peristiwa-peristiwa yang
dahulu pernah terjadi sedemikian rupa, sehingga peristiwa-peristiwa dari cerita
yang dihadirkan itu berfungsi sebagai pelajaran atau cerminan bagi kehidupan
sosial, bisa memberikan jaminan dan perlindungan bagi kepentingan-kepentingan
kehidupan di masa kini.
Nilai
adat (tradisi) yang terdapat dalam mitos dan ritus labuh sesaji ini adalah
fungsi upacara tradisional pada masyarakat pendukungnya, mempunyai empat tujuan
yaitu sebagai :
(1)
norma sosial
(2)
pengendali sosial
(3)
media sosial
(4)
pengelompokan sosial.
Ritus labuh sesaji di
Telaga Sarangan lebih bermakna untuk membangun solidaritas sosial antara sesama
masyarakat Sarangan dan dengan para pejabat pemerintah. Dalam kondisi seperti
ini stratifikasi sosial bukan lagi hal yang ditonjolkan, maka ini merupakan
kesempatan yang baik untuk memupuk semangat persatuan, menumbuhkan jiwa
gotong-royong serta tenggang rasa antara sesama warga masyarakat Sarangan
khususnya.
d.
Fungsi Pendidikan
Dalam
mitos dan ritus labuh sesaji ini, ditemukan nilai moral pada cerita kyai pasir yang menunjukkan telur yang telah ditemukannya
tersebut pada nyi pasir yang berada di rumah. Dalam hal ini nilai yang dapat
dipetikk adalah seberapa besarnya nilai kejujuran dan keinginan untuk berbagi
itu sangat kuat meskipun apa yang kita miliki adalah sesuatu yang tidak terlalu
berharga. Namun demikian, dari mitos itu sendiri juga mengajarkan seberapa kita
harus menghormati apa yang bukan menjadi hak milik kita, kita tak boleh
sembarangan mengambil sesuatu yang bukan milik kita terlebih memakai sesuatu
tersebut tanpa tahu asal muasal dari benda tersebut.
e.
Fungsi Politik
Dalam prosesi Larung sesaji ini
melibatkan beberapa aparatur- aparatur pemerintah daerah setempat. Petugas
daerah disini juga memiliki peranan dalam prosesi pelarungan sesaji, sehingga
ddengan kegiatan tersebut akan mencitrakan nama baik pemerintah daerah setempat
dimata masyarakat pada umumnya. Karena melalui kegiatan tersebut pemerintah
daerah setempat bisa membaur dengan masyarakat, sehingga citra seorang
pemerintah daerah disini terangkat
dengan adanya kegiatan tersebut.
f.
Fungsi Ritual Keagamaan
Secara
vertikal makna ritus labuh sesaji di Telaga Sarangan mengandung maksud untuk
memohon keselamatan, memohon rezeki kepada Tuhan dan para leluhur (Kyai dan
Nyai Pasir) di Sarangan. Hal ini dapat
diketahui dari mitos masyarakat setempat tentang setiap
terjadi bencana alam di Sarangan yang berupa angin topan, hujan lebat, kabut
tebal yang datang secara tiba-tiba dan berlangsung berhari-hari. Kejadian yang
mengerikan ini tidak lain adalah ulah Kyai dan Nyai Pasir yang sedang marah.
Oleh sebab itu, sesepuh desa Sarangan membuat penolak balaknya yaitu dengan
membuat sesaji.
g.
Fungsi Komunikasi
Kegiatan ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana
promosi kepariwisataan, sehingga obyek wisata telaga Sarangan mampu dikenal
para wisatawan nasional maupun mancanegara yang nantinya akan berdampak
meningkatnya jumlah kunjungan wisata di Sarangan.
Meningkatnya jumlah pengunjung ke Sarangan akan
memberikan kontribusi terhadap sirkulasi perekonomian masyarakat maupun
kontribusi terhadap Pemerintah Daerah. Ritual
larung sesaji ini dikemas khusus, sehingga menambah daya tarik pengunjung ke
objek wisata Telaga Sarangan. Larung sesaji masyarakat Sarangan juga telah
menjadi ikon budaya Magetan. Acara ini sudah menjadi agenda tahunan Kabupaten
Magetan dan Provinsi jawa Timur. Larung sesaji ini selain untuk melestarikan
budaya, juga untuk mendongkrak bidang kepariwisataan yang ada di Magetan pada
umumnya.
h.
Fungsi Fisikal
Sebagaimana diketahui bersama bahwa ritual labuh sesaji sangat mungkin bermuatan kisah masa silam. Oleh karena itu, kisah masa silam dalam ritual labuh sesaji merupakan rekaman fakta sejarah yang sesungguhnya. Pada dasarnya ritual labuh sesaji merefleksikan kehidupan masyarakat. Kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa pada masa lampau pada mitos dan ritus labuh sesaji dapat ditelusuri kembali melalui tradisi memberikan sesaji setiap hari Jumat Pon di Telaga Sarangan tepatnya sekarang menjadi punden desa, yang tempat tersebut dipercayai penunggu Telaga Sarangan itu berada. Melalui cerita mitos dan ritus labuh sesaji setidaknya dapat dirunut kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi masa lampau. Masyarakat mempercayai bahwa dengan memberikan sesaji pada penunggu telaga Sarangan, masyarakat tidak akan mendapatkan bencana yang ditimbulkan oleh penunggu Sarangan.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa ritual labuh sesaji sangat mungkin bermuatan kisah masa silam. Oleh karena itu, kisah masa silam dalam ritual labuh sesaji merupakan rekaman fakta sejarah yang sesungguhnya. Pada dasarnya ritual labuh sesaji merefleksikan kehidupan masyarakat. Kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa pada masa lampau pada mitos dan ritus labuh sesaji dapat ditelusuri kembali melalui tradisi memberikan sesaji setiap hari Jumat Pon di Telaga Sarangan tepatnya sekarang menjadi punden desa, yang tempat tersebut dipercayai penunggu Telaga Sarangan itu berada. Melalui cerita mitos dan ritus labuh sesaji setidaknya dapat dirunut kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi masa lampau. Masyarakat mempercayai bahwa dengan memberikan sesaji pada penunggu telaga Sarangan, masyarakat tidak akan mendapatkan bencana yang ditimbulkan oleh penunggu Sarangan.
Selain itu prosesi larung sesaji ini
sendiri juga menyuguhkan daya tarik tersendiri bagi para pendatang dan
pengunjung obyek wisata telaga Sarangan, yaitu
melalui upacara arak- arakan dan beberapa pentas kesenian daerah
setempat yang disajikan saat prosesi Larung Sesaji digelar.